Petunjuk Belajar Modul:
1.
Dengan modul ini diharapkan siswa dapat belajar
secara mandiri tentang konsep hak dan kewajiban asazi manusia tanpa atau dengan bimbingan guru.
2.
Modul ini dikembangkan dari konsep yang mudah ke
yang sulit, dari konsep nyata ke konsep yang abstrak dan dari konsep yang
sederhana ke konsep yang rumit.
3.
Belajarlah secara mandiri
Prasyarat Sebelum Belajar:
Sebelum mempelajari penyelenggaraan pemerintahan negara,
peserta didik diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
sebagai apersepsi:
1.
Bagaimana penerapan Pancasila dalam konteks
kehidupan berbangsa?
2.
Apa saja yang sudah terimplementasikan dan apa
saja yang menjadi tantangan dalam mengimplementasikan Pancasila?
3.
Apakah kehidupan masyarakat di sekitar telah
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?
4.
Apa saja karakter atau ciri-ciri kehidupan
masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?
Sumber Bacaan
Pancasila bukan sekadar pajangan
ataupun hafalan semata. Pancasila, pada saat si[1]dang
BPUPK, ditempatkan sebagai philosophische grondslag atau weltanschauung. "Philosophische
Grondslag" berasal dari bahasa
Belanda yang berarti norma (lag), dasar (grands), dan yang bersifat ilsafat
(philosophische). Selain itu, berasal juga dari bahasa Jerman, yaitu
"Weltanschauung" yang memiliki arti sebagai pandangan men[1]dasar (anshcauung),
dengan dunia (welt). Bahkan, ketikam mengajukan penamaan lima dasar negara
merdeka dengan mengusulkan nama Pancasila. Soekarno menegaskan kelima dasar
yang diusulkannya itu bukan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia karena ia
digali dari tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
Namun demikian, praktik berbangsa
tidak sepenuhnya sesuai dengan sila[1]sila Pancasila. Dalam
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, dapat kita jumpai sejumlah “pelanggaran”
terhadap sila-sila Pancasila. Tak hanya oleh masyarakat umum, di kalangan
peserta didik sendiri, praktik ber-Pancasila tak sepenuhnya dapat dijalankan
dengan baik.
Mari kita diskusikan dan
releksikan penerapan Pancasila menurut sila-sila Pancasila.
a. Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam konteks kehidupan berbangsa, sila pertama ini
mereleksikan bahwa bang[1]sa Indonesia adalah
bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, ia dapat
melaksanakan ajaran-ajaran agamanya secara nyaman dan seksama tanpa mengalami
gangguan. Namun faktanya, tidak semua manusia Indonesia yang berke[1]tuhanan ini dapat
melaksanakan ajaran dan ritual agamanya dengan nyaman dan sek[1]sama. Masih kerap
terjadi sejumlah persoalan terkait dengan kebebasan pelaksanaan ajaran agama,
seperti soal intoleransi terhadap keyakinan yang berbeda yang terjadi
di kalangan masyarakat.
b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua ini memberikan pengertian bahwa setiap bangsa
Indonesia dijunjung tinggi, diakui, dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan
martabatnya selaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Pendek kata, setiap warga negara
Indonesia memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama. Oleh karena itu, segala
tindakan yang melanggar “kemanusian”, seperti perundungan (bullying), diskriminasi,
dan kekerasan antar[1]sesama tidak dapat
dibenarkan. Sila ini juga secara eksplisit menyebut kata “adil dan beradab”
yang berarti bahwa perlakuan terhadap sesama manusia haruslah adil dan sesuai
dengan moral-etis serta adab yang berlaku. Sayangnya, kehidupan berbangsa kita
tidak sepenuhnya dapat menerapkan hal ini. Masih banyak terjadi tindakan[1]tindakan yang tidak
menghargai harkat dan martabat manusia, seperti perundungan, diskriminasi,
ujaran kebencian, bahkan kekerasan terhadap peserta didik dan guru.
c. Persatuan Indonesia
Sila ketiga ini memberikan syarat mutlak kepada setiap
bangsa Indonesia untuk men[1]junjung tinggi
persatuan. Persatuan di sini bukan bermakna terjadinya penyeragaman dari
keragaman yang ada. Melalui sila ini, kita semua diminta bersatu padu, kompak tanpa
perpecahan untuk bersama-sama memajukan bangsa dan negara Indonesia. Faktanya,
kita masih kerap menjumpai berbagai narasi yang justru kontra-produktif dengan
semangat persatuan: saling menghujat, menghasut, memusuhi, dan menye[1]rang mereka hanya
karena berbeda. Lebih parah lagi, gerakan separatis yang hendak memisahkan diri
dari Indonesia masih tetap eksis hingga kini.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
per[1]musyawaratan/perwakilan
Dalam konteks berbangsa, sila ini menegaskan bahwa segala
keputusan di lingkungan masyarakat harus dilakukan dengan penuh hikmat kebijaksanaan
melalui mekanisme musyawarah. Karena itulah, untuk melaksanakan
kegiatan/program bersama di ma[1]syarakat harus
ditempuh dengan cara musyawarah. Prinsip musyawarah ini menya[1]darkan kita bahwa
setiap bangsa Indonesia memiliki hak, kedudukan, dan kewajiban yang setara.
Dengan demikian, tidak boleh ada seseorang atau satu kelompok yang merasa
paling otoritatif dan merasa paling benar. Faktanya, kita masih menjumpai sejumlah
praktik kehidupan di masyarakat yang tak sepenuhnya mengedepankan musyawarah,
seperti tidak menghargai pendapat yang berbeda, antikritik.
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Keadilan adalah nilai universal yang harus dipraktikkan oleh
setiap bangsa Indonesia. Dalam konteks kehidupan berbangsa, keadilan dapat
bermakna bahwa setiap bang[1]sa Indonesia berada
dalam posisi yang setara, baik terkait dengan harkat, martabat, maupun hak dan
kewajibannya. Karena itu, merendahkan orang lain karena, misal[1]nya, status sosial,
jenis kelamin, agama, dan budaya adalah bentuk dari ketidakadilan. Untuk
bersikap adil harus dimulai dari cara pikir yang adil. Sayangnya, ada banyak ketidakadilan
yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap
perempuan: perempuan tidak mendapatkan hak belajar yang setara dengan
laki-laki, perempun jarang dikasih kesempatan untuk menjadi pemimpin karena di[1]anggap emosional,
upah pekerja perempuan umumnya lebih rendah dibanding laki[1]laki, atau dipaksa
nikah muda karena ia perempuan. Tentu, masih banyak contoh lain dari
ketidakadilan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar